Wednesday, September 13, 2006

MENCOBA MEMAHAMI TAQDIR
DARI OEDIPUS REX HINGGA JABARIYAH DAN QADARIYAH

Sejak zaman dahulu masalah taqdir sudah dianggap sebagai misteri terbesar bagi ummat manusia,disamping bersifat misterius taqdir juga menjadi sumber ketakutan,ini dikarenakan adanya anggapan,khususnya dikalangan masyarakat purba,bahwa taqdir adalah suratan nasib yang tak mungkin terelakkan lagi,betapapun manusia berdaya upaya melawannya.Keyakinan seperti ini tercermin misalnya dalam kisah Oedipus Rex(Raja Oedipus) karangan Sophocles,dramawan besar Yunani yang hidup sekitar abad kelima sebelum Masehi.Dalam drama tragedy ini diceritakan bahwa Oedipus semasa anak muda mendengar ramalan dari seorang Orocle (dukun Yunani) bahwa dia akan membunuh ayahnya dan mengawini Ibunya sendiri.Untuk menghindari ramalan terkutuk itu Oedipus kemudian lari meninggalkan kedua orang tuanya dan pergi mengembara.Namun langkahnya itu justru membawanya kepada alur taqdir yang telah disurtkan baginya oleh para dewa.
Ditengah perjalanan dia terlibat dalam sebuah insiden dan membunuh seorang tua pengendara kereta,yang kemudian ternyata adalah ayah kandungnya yang asli.Dia juga memenangkan sebuah sayembara yang hadiahnya adalah tahta dan seorang permaisuri,ternyata pula bahwa sang permaisuri yang sudah janda ini adalah wanita yang telah melahirkannya kedunia namun kemudian menyuruh orang agar membuang bayinya karena adanya ramalan seperti yang didengar Oedipus itu.Terungkap pula bahwa kedua orang tuanya yang membesarkannya selama ini hanyalah orang tua angkat,bukan ayah dan ibunya sendiri.Maka dengan rasa putus asa,Raja Oedipus,dihadapan anak-anak yang juga saudara-saudara kandungnya sendiri dengan cara mencopot kedua matanya sendiri dan pergi meninggalkan istana.
Kepercayaan bahwa taqdir adalah suratan nasib yang sudah tak bisa dihindarkan lagi dikalangan Teolog Barat dikenal dengan sebutan Determinisme,Dalam sejarah Islam kepercayaan serupa juga pernah muncul paham serupa dengan sebutan Jabbariyah,Kepercayaan ini bahkan lebih riil dan komperhensip ketimbang paham Yunani Kuno sebagaimana yang dicerminkan dalam kisah Oedipus itu.
Menurut pandangan Jabbariyah,Tuhan tidak saja menentukan garis perjalanan hidup manusia ,melainkan juga kehendak dan perbuatannya ,dengan perkataan lain manusia tidak memiliki kebebasan dalam paksaan (Jabr)Tuhan.Dengan demikian menurut pandangan ini,manusia tidak bisa dituntut pertanggungjawaban atas perbuatannya sebab Semua itu adalah kehendak Tuhan.Pandangan ini mengambil alasan dari ayat –ayat Al-Qur’an sendiri,semisal:”Dan kalau Allah menghendaki,niscaya Dia menjadikan kamu satu ummat (saja),tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki –Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki –Nya”.(QS.16:93)
Tentang kejahatan penguasa,Ignaz Goldziher dalam bukunya An Introduction to Islamic teologi and law,Mengutip ucapan Qadariyah awal yang menyatakan bahwa,”Raja-raja ini menumpahkan darah kaum muslim dan merampas harta mereka dengan cara yang tidak halal,dan mereka mengatakan bahwa perbuatan mereka itu adalah konsekwensi Qadha dan Qadar.
Dengan sendirinya hal ini mendapat reaksi keras dari para pemimpin masyarakat yang bertanggung jawab memelihara kesucian aqidah dan moral ummat .Diantaranya ialah Imam Hasan Al-Bashri,Seorang ulama dan tokoh Sufi dari Basrah.Mereka ini lalu mengemukakan apa yang disebut sebagai pandangan Qadariyah,yang menyatakan bahwa manusia sepenuhnya bebas menentukan kehendak dan melaksanakan perbuatannya,diantara ayat yang menjadi pijakan dasar pemikiran ini,adalah,”Dan katakanlah,kebenaran itu dari Tuhanmu,maka barangsiapa hendak (beriman),silakan dia beriman ,dan barangsiapa berkehendak (untuk kafir),silahkan dia kafir.”(QS.Al-Kahfi,18:29).
Sebagaimana terlihat diatas baik paham Jabbariyah maupun Qadariyah kedua-duanya mengklaim pada pijakan pada Kitab suci Al-Qur’an,yamg dalam kenyataannya memang memiliki dua kelompok ayat yang jika dibaca terpisah dan ditafsirkan secara apriori akan menghasilkan dua macam pandangan yang kontradiktif seperti Jabbariyah dan Qadariyah diatas.Untuk mengatasi persoalan ini satu penafsiran telah diajukan yang secara ringkas bisa dinyatakan sebagai berikut:Bahwa meskipun Al-Qur’an mengatakan secara eksplisit bahwa Allah lah yang menyesatkan atau memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendakinya namun penyesatan dan pemberian petunjuk tersebut tidaklah dilakukan dengan tak semena-mena.Pada dasarnya Allah telah menawarkan petunjuk (hidayah)kepada seluruh manusia tanpa pandang bulu,tapi diterima atau tidaknya petunjuk itu tergantung pada kehendak manusia itu sendiri,seperti dinyatakan dalam Al-Qur’an,Surah Al-Kahfi 18:29 yang dikutip diatas.Orang yang tak mau menerima petunjuk disebabkan factor-faktor tertentu,seperti keangkuhan,gengsi,takut kehilangan kedudukan di masyarakatnya dan sebagainya,akan tertutup hatinya dan terjerumus kejalan kesesatan,singkatnya kehendak Allah yang nampaknya tak semena-mena dalam Al-Qur’an sesungguhnya tak lepas dari sebab-sebab yang ada pada manusia sendiri,sebagaimana dinyatakan oleh Al-Qur’an mengenai Kaum Nabi Musa as:”Maka tatkala mereka berpaling(dari kebenaran),Allah pun memalingkan hati mereka,dan Allah tiada memberi petunjuk kepada Kaum yang fasik.”(QS.Al-Shaff 61:5).Ayat-ayat tentang kehendak Tuhan yang tidak menyatukan antara sebab dan akibat,sebagaimana halnya ayat ini mestilah dicari sebabnya ditempat lain.



Sumber:Az-Zahra

0 Comments:

Post a Comment

<< Home